2005/09/15

what's wrong with religion

Fren, belakangan ini orang-orang sudah mulai sakit otak sampe gak bisa mikir gitu kali yah atau mereka tu udah bener2 blind akan sesuatu hal yang mendasar. Sebenernya gue males ngomongin agama, tapi hanya sedikit meluruskan en bukan mo jadi agamis loh. So agama itu kan artinya a=tidak dan gama=kacau jadi agama sendiri adalah tidak kacau sesuai dengan pelajaran agama yang saya terima di sekolah dulu.

Dan orang yang memiliki agama dan tidak membuat kacau disebut orang beragama, sebaliknya seorang pengacau kita sebut orang yang tidak beragama, bener gak?
Mhh, gak gitu juga sih koq jadi saklek gitu, pertama kita harus liat dulu kekacauannya itu bagaimana, tapi tetep aja kita gak boleh menjudge seseorang tidak beragama seenaknya iya gak sih ?

Ini bukan menyalahkan, tapi hanya sedikit berbagi apa yang tengah terjadi di negri kita tercinta ini.

Seluruh artikel berikut dari mailing list dan kebenaranya nyata gitu loh.
---------------------------------------------------------
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Layanan Informasi Aktual
eskol@mitra.net.id
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Spot News : Selasa, 16 Agustus 2005

RENTETAN PERISTIWA PENUTUPAN GEREJA DI JAWA BARAT
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bandung, Eskol-Net:
Ditengah hiruk pikuk seluruh rakyat menyambut
HUT Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-60
tahun, justru hal yang sangat memprihatinkan yang
seharusnya tidak boleh terjadi, kembali terjadi,
yaitu peristiwa penutupan Gereja di beberapa wilayah
Jawa Barat.

Usia 60 tahun adalah usia dimana seseorang
seharusnya dapat berpikir secara matang dan
bijaksana dalam menyikapi berbagai hal. Tetapi
rupanya usia 60 tahun kemerdekaan bangsa ini, bagi
sebagian kelompok tertentu, bukannya membawa
kematangan dalam berpikir dan bertindak, tetapi
justru sebaliknya membuat mereka semakin anarkis
dengan mengatasnamakan agama tertentu untuk menekan
orang yang berbeda agama dan keyakinan.

Lalu apa artinya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan 60
tahun lalu oleh Presiden Soekarno tersebut? Bukankah arti kemerdekaan
disini juga berarti kemerdekaan dalam menjalankan ibadah dan
keyakinan seperti juga yang tertuang dalam UUD'45
Ps. 29?

PENUTUPAN GEREJA KRISTEN KEMAH DAUD (GKKD) PURWAKARTA.

Hanya karena mendirikan TK (Taman Kanak-Kanak,
red)), akhirnya Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD)
yang sudah berdiri pada tahun 1995, pada tanggal 7
Agustus 2005 lalu ditutup oleh Camat atas desakan
dari Front Pembela Islam (FPI) Purwakarta.

GKKD yang berlokasi di Kampung Warung Mekar,
Ds. Bungursari RT 6 / RW 3, Kec. Bungursari, Kab.
Purwakarta, sejak tahun 2003 dipakai juga sebagai TK
Tunas Pertiwi yang dikelola oleh Yayasan Dorongan
Kasih Bangsa (DKD). Oleh FPI dan Badan Perwakilan
Desa (BPD) Bungursari, TK didirikan tanpa memiliki
ijin dan dipakai sebagai upaya Kristenisasi, padahal
menurut pihak Yayasan, TK tersebut sudah mengantongi
Ijin dari Kepala Desa dan Dinas setempat. Selain itu mayoritas anak
didiknya juga beragama Kristen.

Akibat penutupan ini, sekitar 100 anggota
jemaat dan anak didik TK tersebut menjadi tidak
menentu.

PENUTUPAN GEREJA DI KOMPLEK PERMATA CIMAHI, KABUPATEN BANDUNG

Pada hari Minggu, 14 Agustus 2005 pada pukul
09.45 Wib gereja-gereja yang berada di Komplek
Permata Cimahi, Kel. Tani Mulya, Kec. Ngamprah, Kab.
Bandung diserang dan ditutup. Peristiwa ini adalah
peristiwa kedua, dimana pada tanggal 31 Juli 2005, gereja-gereja
tersebut juga didatangi massa.
Gereja - gereja yang ditutup tersebut adalah :
1.. Gereja Anglikan
2.. Gereja Sidang Pantekosta
3.. Gereja Pantekosta di Indonesia
4.. GSPdI
5.. GKI Anugrah
6.. Gereja Bethel Injil Sepenuh
Massa yang menyerang berjumlah sekitar 300
orang. Peristiwa ini berlangsung selama kurang lebih
2 jam. Massa memaksa agar gereja-gereja tersebut
segera ditutup sambil meneriakan "Allahuakbar"
dengan membawa senjata tajam seperti golok,
pentungan dan kayu. Massa memaksa agar pimpinan
gereja segera menandatangani surat yang isinya agar
gereja segera ditutup.

Massa yang menutup berasal dari Front Pembela
Islam (FPI), Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP),
beserta jajaran pimpinan Rukun Tetangga (RT) dan
Rukun Warga (RW). Adapun pimpinan RT/RW yang ikut
dalam tindakan massa tersebut adalah adalah: RT
11/RW 14, Bp. Razulaini Yanto Silalahi, RT 04/05 a/n
: Eko Kismanato dan RT 04/06 a/n Kosasih.

Menurut saksi mata sebagian besar massa bukan
berasal dari Komplek Permata Cimahi, walaupun ada
beberapa orang yang berasal dari komplek tersebut.

Sebelum surat ditanda tangani massa tidak akan
bubar, dan massa meminta lambang-lambang gereja dan
sinode diturunkan.

Kejadian ini terjadi saat kebaktian sedang
berlangsung ketika firman Tuhan sedang dibawakan
oleh pendeta.

Hampir semua media elektronik hadir pada saat
proses penutupan gereja. Dari beberapa saksi mata
mereka menanyakan seputar berapa lama gereja
berdiri, perijinan setempat, dan hal hal yang
berhubungan dengan pendirian gereja di tempat itu.

CATATAN KELABU MENJELANG PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI KE 60

Sejak 3 (tiga) bulan terakhir ini, antara
bulan Juni - Agustus 2005, telah terjadi berbagai
peristiwa kelabu yang menimpa umat Kristen di
Indonesia, diantaranya :
1. Peristiwa penutupan Gereja Kristen Kemah
Daud (GKKD) serta penangkapan dan persidangan 3
(tiga) orang pembina Minggu Ceria, yaitu dr.
Rebecca, Ibu Ratna Mala Bangun, Ibu Ety Pangesti
yang dituduh melakukan pemurtadan dan Kristenisasi
oleh MUI di Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu. Hingga
saat ini ketiga Ibu tersebut ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Indramayu dan proses persidangan masih berlanjut.
2. Peristiwa penutupan Gereja Sidang Jemaat
Allah (GSJA) dan Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Perum Gading Tutukan Soreang, Kab Bandung
yang dilakukan oleh Muspika setempat pada tanggal 16
Juli 2005
3. Peristiwa Penutupan Gereja Kristen Pasundan
(GKP) di Katapang Kab. Bandung yang dilakukan oleh
Muspika setempat pada tanggal 27 Juli 2005.
4. Peristiwa pembongkaran Tempat Pembinaan
Iman Gereja Isa Almasih (GIA) di Karangroto,
Kecamatan Genuk - Semarang oleh Camat setempat pada
tanggal 31 Juli 2005
5. Peristiwa Penutupan Taman Kanak-Kanak (TK)
dan Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Kampung
Warung Mekar, Ds. Bungursari RT 6 / RW 3, Kec.
Bungursari, Kab. Purwakarta oleh Front Pembela Islam
(FPI) Wilayah Purwakarta pada tanggal 7 Agustus
2005.
6. Peristiwa penyerangan dan penutupan 6
(enam) Gereja di Komplek Permata Cimahi, Kel. Tani
Mulya, Kec. Ngamprah, Kab. Bandung yang dilakukan
oleh massa dari FPI dan AGAP serta oknum-oknum
lingkungan setempat pada tanggal 14 Agustus 2005.

Biarlah berbagai catatan peristiwa ini dapat
menjadi doa dan keprihatinan kita bersama, khususnya
dalam menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
yang ke- 60 dengan harapan agar peristiwa-peristiwa
seperti ini tidak terulang kembali dikemudian hari
... MERDEKA [Eskol-Net]

---------------------------------------------------------

Tiga Tahun Penjara Karena Mengajar Sekolah Minggu

Oleh Web Warouw
Sinar Harapan, 7 September 2005

JAKARTA - "For the first time ever in Indonesia's
history a case has been brought to court charging
Christians with the criminal act of christianizing
children." Demikian komentar beberapa media asing di
luar negeri menyusul vonis tiga tahun penjara
Pengadilan Negeri (PN) Indramayu, Jawa Barat, Kamis
(1/9) siang terhadap tiga guru sekolah minggu Gereja
Kristen Kemah Daud (GKKD), yakni dr. Rebecca Laonita,
Ratna Mala Bangun serta Ety Pangesti.

Mereka dituduh telah melakukan pemurtadan dan
kristenisasi di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Tuduhan itu dilancarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Vonis yang
dijatuhkan PN Indramayu, Jawa Barat tersebut sama
dengan tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) dalam sidang tersebut.

Tudingan pemurtadan dan kristenisasi terhadap tiga
guru sekolah minggu di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat itu berawal dari pelayanan
mereka dalam sekolah minggu 'Minggu Ceria' pada 9
September 2003 yang dilakukan di rumah dr. Rebecca
Laonita yang dihadiri oleh 10-20 anak kristen setiap
minggunya. Dalam perkembangannya beberapa anak
beragama non-kristen ikutserta dalam permainan di
sekolah minggu tersebut.

Sekolah Minggu "Minggu Ceria" ini sempat ditutup
sebelum Natal, 24 Desember 2004 dengan alasan tidak
dizinkan kebaktian rumah oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Hargeulis. Padahal, seperti biasanya Natal di
tempat lain, anak-anak tersebut dibagikan hadiah Natal
berupa tas dan buku tulis. Karena ditutup, kebaktian
umum gereja akhirnya diputuskan untuk berpindah-pindah
tempat. Jemaat pernah juga kebaktian di GBI Efrata,
sedangkan Minggu Ceria akhirnya diputuskan dilakukan
di rumah Ety Pangesti.

Pada 26 Maret 2005, anak-anak sekolah minggu 'Minggu
Ceria' pergi ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII),
Jakarta Timur dalam sebuah acara paskah. Beberapa dari
orangtua/wali dari anak-anak sekolah minggu, termasuk
yang non-kristen ikut bersama-sama ke TMII. Namun
sejak 14 April 2005 "Minggu Ceria" ditutup. Sementara
kebaktian umum setiap minggu sore dipindahkan ke
Pamanukan.

Tanggal 3 Mei 2005 diadakan pertemuan antara pelayan
"Minggu Ceria" dengan Musyawarah pimpinan kota
(Muspika) yang dihadiri oleh Camat Haurgeulis Moh
Hayat, Majelis Ulama Indonsia dan Kantor Urusan Agama
setempat, petugas Polsek dan Koramil Haurgeulis. Camat
Moh. Hayat berjanji akan memberikan hasil tertulis dari
pertemuan itu dan selanjutnya akan ditandatangani dr
Rebecca Laonita. Namun, hingga kini tidak ada berita
acara pertemuan tersebut. Yang ada hanya laporan MUI
ke Polsek Haergeulis pada 3 Mei 2005 tersebut dan
diproses secara hukum.

Pada 9 Mei 2005 dr Rebecca Laonita, Ratna Mala Bangun
dan Ety Pangesti memenuhi panggilan Polsek Haurgeulis
sebagai tersangka. Belakangan berkas perkara ketiga
guru sekolah minggu tersebut dilimpahkan ke Polres
Indramayu. Tanggal 14 Mei 2005 ketiga guru sekolah
minggu tersebut memenuhi panggilan Polres Indramayu
sebagai saksi sesuai dengan surat panggilan polisi
yang ditandatangani oleh Kepala Satuan Reserse dan
Kriminal Polres Indramayu, Ajun Komisaris Polisi (AKP)
Suryanto. Namun, pada waktu ketiga diperiksa, penyidik
langsung menyatakan Rebecca Laonita, Ratna Mala Bangun
dan Ety Pangesti sebagai tersangka dengan tuduhan
pemurtadan serta kristenisasi di Kecamatan Haurgeulis,
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Di Mapolres Indramayu, ketiga diperiksa mulai dari
pukul 09.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB dan diizinkan
pulang esok harinya. Pada Senin (16/5) pagi sekitar
pukul 08.00 WIB, Rabecca Laonita, Ratna Mala Bangun
dan Ety Pangesti diberitahu telah muncul surat
penahanan dan diminta untuk menandatangani serta
langsung berkemas karena akan dimasukkan ke Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Indramayu.

Mereka dikenakan tuduhan pasal 86 Undang Undang
No.23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bunyinya:
"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu
muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
anak tersebut belum berakal dan belum bertanggungjawab
sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta
rupiah)."

Dalam kasus ini polisi mengamankan barang bukti berupa
satu Alkitab dan enam kaos biru bertuliskan "Minggu
Ceria". Padahal, hingga kini anak-anak non-kristen
yang mengikuti sekolah minggu "Minggu Ceria" tersebut
tidak ada yang pindah agama.

Pembelaan Gus Dur
Sebelumnya, KH Abdurrachman Wahid telah meminta
Kapolres Indramayu, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)
Johni Soeroto agar melepas ketiga ibu rumah tangga
yang juga mengajar guru sekolah minggu tersebut.

"Penahanan atas diri dr. Rebecca Laonita, Ratna Mala
Bangun dan Ety Pangesti dengan berdasarkan sangkaan
mereka memberikan keterangan salah kepada
anak-anak, ...maka penahanan atas diri mereka (yang
didasarkan pada pengaduan masyarakat) adalah tidak
tepat," tegas Gus Dur dalam suratnya tertanggal 26 Mei
2005.

Gus Dur melanjutkan, "Karena itu, saya harapkan
kesediaan Anda (Kapolres Indramayu-red) untuk
memerintahkan mereka dilepaskan dari tahanan, dan
pengaduan terhadap mereka di Pengadilan dibatalkan.
Masalah ini hendaknya diselidiki secara lebih
mendalam, sehingga orang yang tidak bersalah tidak
menjadi korban," tegasnya lagi.

Surat Gus Dur ini mendapatkan balasan dari MUI
Kecamatan Haurgeulis pada 27 Mei 2005 yang menegaskan
bahwa kasus ini pidana murni sesuai dengan KUHP pasal
156a, dan Pasal 86 Undang Undang No.23/2002 tentang
Perlindungan Anak.

"Dr. Rebecca dalam kasus ini telah melakukan
pemurtadan terhadap anak-anak Islam di Kecamatan
Hargeulis," demikian surat yang ditandatangani oleh
Ketua MUI setempat, KH Mundzir Mahmud, Sekretaris
Asyrofin THS dan Ketua Tim Advokasi MUI setempat H.
Eri Isnaeni, SH.

Akibat vonis itu, menurut laporan Maranatha Christian
Jurnal yang beredar di Eropa dan Amerika Serikat bahwa
ketiga ibu rumah tangga tersebut harus berpisah dengan
anak-anak mereka. "Bangun has sent her children to
live with their grandfather on Sumatra Island.
Pangesti and Zakaria's children will also be moved to
another location in the near future to protect them
from possible attacks or intimidation during the
trial." Demikian sebuah media asing melansir perihal
nasib guru sekolah minggu "Minggu Ceria" itu.

Vonis sudah dijatuhkan dan dr Rebecca Laonita, Ratna
Mala Bangun dan Ety Pangesti, ketiga guru sekolah
minggu "Minggu Ceria" itu kini menghuni Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Indramayu, Jawa Barat.

Setidaknya hal itu sama persis apa yang dialami
Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego, hamba Allah yang
dilempar ke dalam dapur api oleh Raja Nebukadnezar.
Namun, di balik peristiwa itu ada berkat yang melimpa
dan nama Tuhan dimuliakan!

Bukankah esok atau lusa, mati pun aku sendiri
--Messakh, Obbie


---------------------------------------------------------
SUARA PEMBARUAN DAILY

Apa Alasan Mereka Menutup Gereja?


Oleh Mohamad Guntur Romli


SAYA sebagai seorang muslim sangat terkejut dengan pemberitaan penutupan
secara paksa gereja-gereja di Jawa Barat yang dilakukan oleh sekelompok
umat Islam. Kelompok itu menamakan dirinya sebagai Aliansi Gerakan Anti
Pemurtadan (AGAP). Tidak hanya sekadar melakukan penutupan paksa, tapi
juga disertasi dengan tindakan kekerasan (Suara Pembaruan, 24/8).
Terlintas dalam benak saya, apa alasan mereka menutup gereja?


Bagi saya pribadi, citra gereja, seperti halnya masjid, pura, wihara, dan
tempat-tempat ibadah lainnya yang digunakan untuk memuji dan menyembah
Tuhan. Dalam pandangan Al-Quran, rumah-rumah Tuhan tersebut, wajib
dipelihara tidak hanya oleh pemeluk agamanya saja, namun juga oleh seluruh
pemeluk agama. Pada prinsipnya Rumah Tuhan adalah "rumah bersama" yang
wajib dilindungi.


Allah Swt menegaskan hal ini dalam Surat Al-Hajj (22) Ayat 40 yang
ditujukan pada kaum muslimin untuk memelihara tempat-tempat ibadah,
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat Yahudi (sinagog) dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi
Mahaperkasa."


Memelihara dan melindungi tempat ibadah merupakan implementasi dari
prinsip kebebasan beragama dalam Islam. Perlindungan tersebut dipertegas
dalam ayat yang sangat populer lâ ikrâhâ fi al-dîn "tidak ada paksaan
dalam beragama" (Al-Baqarah: 256). Seorang ahli tafsir (mufassir) klasik,
Al-Thabari dalam karyanya Jâmi' al-Bayân menuturkan kisah dari
sebab-musabab (asbâb al-nuzûl) ayat tersebut turun.


Seorang bapak beragama Islam yang berasal dari suku Salim bin Awf, di
Madinah memiliki dua anak yang memeluk Kristen. Ketika dua anaknya datang
berkunjung, sang bapak mengajak dua anaknya memeluk Islam. Namun keduanya
menolak. Kemudian, sang bapak membawa kedua anaknya ke hadapan Rasulullah,
dan meminta beliau turun tangan.


Persis pada saat itulah, menurut Al-Thabari, Allah menurunkan ayat "Tidak
ada paksaan dalam agama." Sang bapak mematuhi perintah Rasulullah, dan
memberi kebebasan pada dua anaknya memeluk agamanya. Selain itu, untuk
melindungi umat non-Islam juga, Rasulullah telah menjadikan dirinya
sebagai jaminan. Dalam sabdanya, Man adzâ dzimmiyan faqad âdzânî (barang
siapa yang menyakiti non-muslim, maka dia telah menyakitiku).


Kebebasan beragama, tidak hanya menjadi wacana, namun juga menjadi
kebijakan publik Rasulullah sebagai panutan dan pemimpin masyarakat.
Kesepakatan Rasulullah dengan pelbagai suku dan agama di Madinah yang
dikenal dengan Piagam Madinah, Mîtsâq al-Madînah, dinilai oleh Muhammad
Husain Haikal, penulis buku Hayât Muhammad (Biografi Muhammad) sebagai
implementasi dari kebebasan beragama. Lebih dari itu, masih menurut Husan
Haikal, kesepakatan tersebut merupakan dokumen politik yang patut dikagumi
sepanjang sejarah.


Diriwayatkan juga dalam sebuah hadis, "Ketika datang rombongan Nasrani
Najran berjumlah lima belas orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits,
Rasulullah berdialog dengan mereka. Ketika mereka hendak beribadah, beliau
mempersilakan mereka untuk melakukan ibadah di Mesjid Nabawi, sedangkan
Rasulullah beserta sahabat salat di bagian lain."


Cerita ini benar-benar menakjubkan. Umat Kristiani yang tidak memiliki
tempat ibadah, dipersilahkan oleh Rasulullah melakukan kebaktian di
masjid. Tidak seperti yang terjadi saat ini, pendirian gereja dipersulit
dengan perizinan yang rumit, ketika berdiri pun malah ditutup!


Kebijkan Rasulullah tersebut dilanggengkan oleh para pemimpin sesudahnya.
Ketika Umat bin Khattab menaklukkan Yerusalem pada tahun 638 M, memberikan
jaminan terhadap kaum Kristiani dan Yahudi yang diabadikan dalam Piagam
Alia. Salah satu poin terpenting dari piagam tersebut adalah, jaminan
kehidupan, penghidupan, dan rumah-rumah ibadah yang tidak boleh diduduki,
atau dihancurkan.


Oleh karena itu, segala tindakan penutupan terhadap rumah-rumah ibadah
sama sekali tidak memiliki landasan dalam Islam. Dalam kondisi perang pun,
rumah-rumah ibadah merupakan daerah terlarang untuk diserang, seperti
halnya terhadap anak-anak, perempuan, orang tua, orang cacat dan orang
sipil.


Namun, yang mengherankan bagi saya adalah alasan mereka yang berasal dari
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.
01/BER/mdn-mag/1969.


SKB tersebut ditandatangani oleh KH Moh Dahlan sebagai menteri agama dan
Amir Machmud sebagai menteri dalam negeri di Jakarta tanggal 13 September
1969. Aturan yang dimaksud dalam SKB tersebut adalah Pasal 4 ayat (1)
"setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepada Daerah
atau pejabat pemerintahan" dan ayat 2, "Kepala Daerah atau pejabat yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud, setelah
mempertimbangkan: a. pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat;
b. planologi; c. kondisi dan keadaan setempat."


SKB tersebutlah yang menjadi pangkal persoalan ini karena memasung
kebebasan agama yang menjadi landasan utama konstitusi kita. Dalam UUD 45
Pasal 29 ayat (2) disebutkan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu."


Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun
2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.


(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Kesimpulannya, isi SKB tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan dan
kemerdekaan umat beragama untuk memeluk dan beribadat menurut agamanya
masing-masing. Oleh karena itu, sudah seharusnya SKB tersebut dicabut.


Dalam SKB itu juga, kebebasan dan kemerdekaan beragama "ditertibkan" oleh
kepada daerah setempat khususnya hal-ihwal pendirian rumah ibadah. Tidak
hanya berkenaan dengan rumah-rumah ibadah; gereja, masjid, musola, dan
lain-lain wajib mengantongi surat izin.


Dalam Pasal 3 ayat (1) juga disebutkan, "Kepala Perwakilan Departemen
Agama memberikan bimbingan, pengarahan, dan pengawasan terhadap mereka
yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah agama/khotbah-khotbah di
rumah-rumah ibadah..."


Dalam SKB ini pemerintah telah melampaui wewenangnya yang seharusnya
memberikan jaminan kebebasan beragama bagi umat beragama, bukan malah
mencampuri dengan melakukan pengawasan hingga taraf mengawasi
khotbah-khotbah.


Jika kembali ke pertanyaan awal, apa alasan mereka menutup gereja?
Surat-surat dalam Al-Quran, dan risalah Rasulullah, atau Surat Keputusan
Bersama (SKB) dua menteri itu yang kontroversial itu? Atau mereka hanya
mencari-cari alasan?


Jika pun mengikuti aturan SKB tersebut dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan,
"jika dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan tindakan
pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan kepada alat-alat penegak
hukum yang berwenang dan diselesaikan berdasarkan hukum."


Dan tentu saja aksi kekerasan, penyerangan dan pemaksaan yang dilakukan
oleh kelompok itu ketika menutup paksa sejumlah gereja, merupakan tindakan
pidana yang nyata. Wallahu A'lam. *


Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Liberal

---------------------------------------------------------


Semoga seluruh artikel itu menjadi pembelajaran bagi kita semua bersama umat beragama dan kita bisa hidup berdampingan dalam kedamaian yang tidak kacau.

salam damai.